Kantor Kelurahan Lembursitu

Kantor Kelurahan Lembursitu
pemda kota sukabumi
  • Pelayanan Prima Kepada Masyarakat

    Salah seorang Pegawai Kelurahan Lembursitu sedang melayani masyarakat...

  • Ruang Pelayaan Kelurahan Lembursitu

    Ruang Pelayanan Kelurahan Lembursitu tempat petugas kelurahan memberikan pelayanan kepada masyarakat...

  • Penghargaan

    Kelurahan Lembursitu telah menerima banyak penghargaan...

Selasa, 13 Februari 2018

Pelayanan Prima Kepada Masyarakat




Salah seorang Pegawai Kelurahan Lembursitu - Kecamatan Lembursitu sedang melayani masyarakat dalam pembuatan KK dan KTP di Ruang Pelayanan Kecamatan (Front Office).

Minggu, 04 Februari 2018

Tentang Kibitay

Sebuah tugu terbuat dari tumpukan batu berdiri di areal tanah pekuburan Kampung Cipeueut. Kondisi tugu ini sendiri hampir ambruk, bagian bawahnya telah retak, kecuali tidak mendapat perawatan juga telah lapuk di makan usia. Menurut penuturan seorang ketua Rukun Tetangga, bernama Asep, tugu ini dibangun pada tahun 50-an sebagai tugu peringatan terhadap perjuangan orang-orang di sana saat melawan tentara Jepang pada tahun 1942-1945.

Sejarah masuknya Jepang ke Sukabumi diawali saat Jepang mendarat dan merebut Eretan Banten dari Belanda. Jepang kemudian mengembangkan kekuasaannya ke daerah-daerah terdekat. Jepang mampu menguasai Sukabumi dan merebutnya dari Belanda dalam waktu singkat pada medio tahun 1943.

Tempat dan kantor-kantor pemerintahan dikuasai oleh Jepang dengan mudah karena mendapatkan bantuan dari pribumi dengan menunjukkan markas-markas utama Belanda. Semboyan 3A yang dipropagandakan Jepang mampu meyakinkan penduduk Sukabumi bahwa kedatangan mereka memiliki tujuan untuk membebaskan Sukabumi dari penjajahan Belanda.

Setelah menduduki Kota Sukabumi, tentara Jepang pun menguasai seluruh wilayah Sukabumi baik secara politis maupun militer. Gudang persenjataan dibangun di Kampung Kibitay, Lembursitu. Toponimi atau penamaan kampung Kibitay pun diambil dari kata Kempetai, tentara Jepang.

Berbeda dengan pada saat Belanda berkuasa, lapang Kibitay (saat ini), pada tahun 1820, satu abad pasca kebiajakan Preangerstelsel (Sistem Tanam Paksa di Tatar Pasundan, dengan mengerahkan bangsawan Sunda), Belanda melalui kongsi perdagangan mereka (V.O.C) membangun pasar sederhana di daerah Kibitay tersebut. Saat ini, di sebelah barat lapang Kibitay, kita bisa melihat tangga sederhana peninggalan Belanda saat di tempat tersebut mulai dibangun sebuah pasar.

Untuk memudahkan transaksi antara warga dengan kongsi perdagangan Belanda tersebut, kecuali di Kibitay, Belanda pun membangun pasar kecil di daerah Pasar Saptu. Pembangunan pasar ini untuk memudahkan akses warga, terutama para petani perkebunan dari daerah Pangleseran dan Lio saat menjual hasil perkebunan mereka kepada Belanda, sudah tentu dengan harga sangat murah.

Perubahan besar-besaran terjadi, Lapangan Kibitay yang berfungsi sebagai pasar, pada masa pendudukan Jepang dirombak secara total menjadi benteng pertahanan dan gudang senjata. Sebuah bunker berupa lorong kecil berbentuk goa dijadikan tempat penyimpanan senjata oleh Jepang. Lorong tersebut , sampai tahun 80-an masih terlihat, berdekatan dengan SDN Kibitay.

Kekejaman Jepang mulai terlihat ketika mereka memberlakukan sistem Romusha, kerja paksa. Rakyat tidak hanya dipaksa untuk mengerjakan pembangunan atau pembuatan jalan dan jembatan, juga dipaksa untuk menyerahkan hasil tanaman (padi) kepada para kempetai.

Tentara Jepang memasuki daerah Cipeueut melalui akses jalan masuk ke Kampung Wangunreja. Asep, salah seorang ketua RT di kampung Cipeueut menjelaskan, menurut penuturan dari buyutnya, sebelum kedatangan Jepang, warga hidup dalam ketenteraman, jual beli berlangsung secara barter. Bahkan di daerah Cipeueut sendiri pernah dibangun salah satu sentra pertukaran barang, pasar tradisional.

Saat kedatangan Jepang inilah, kondisi mulai terbalik, kematian terjadi bukan hanya karena pembantaian, juga disebabkan oleh kelaparan. Sebuah mesjid dibakar oleh tentara Jepang karena dicurigai sebagai gudang persenjataan milik rakyat setempat.

Kehidupan di Kampung Cipeueut telah hilang sama sekali, banyak penduduk meninggalkan lahan pertanian yang mereka garap karena tidak mungkin mereka bercocok tanam dalam keadaan dipaksa oleh Jepang. Dan sebagian besar penduduk melakukan migrasi ke kampung lain.

Sebagai bentuk peringatan atas peristiwa pembantaian oleh Jepang terhadap penduduk di kampung Cipeueut ini, dibangunlah sebuah tugu berbentuk menhir setinggi dua meter. Kondisi tugu tersebut tidak terawat. Bukan hanya di Cipeueut, sampai saat inipun kita masih bisa menyaksikan sisa-sisa peninggalan masa lalu yang sudah jarang kita bicarakan; Bukit Lonceng di Wangunreja, tempat para buruh kontrak perkebunan dikumpulkan oleh Belanda saat menerima gaji mingguan, juga bunker kecil peninggalan Jepang di Lapang Kibitay yang telah hilang karena tertutup oleh urugan tanah saat dilakukan pembenahan lapang tersebut beberapa tahun lalu. (*)

Kang Warsa